Website Resmi Pondok Pesantren An-Nashuha
SEJARAH MASYAYIKH, MUASIS DAN PENGASUH
PONDOK PESANTREN AN-NASHUHA
EMBAH KH. UZER ( KH. NASHUHA I )
1827 – 1867
Berdasarkan silsilah yang dimiliki Embah KH. Uzer Nashuha adalah putera Ny. Hj. Kafiyah binti KH. I’rob bin KH. Adzro’i (KH. Buyut Habibah) atau yang dikenal dengan nama Ki Buyut Peti dari Demak, nama Nashuha bukanlah nama ayahandanya tetapi nama putera sulungnya. Embah KH. Uzer Nashuha mendirikan sebuah pesantren yang awalnya merupakan padepokan untuk memberikan pendidikan agama bagi umat islam dan sebagai symbol serta basis perlawanan terhadap penjajah Belanda pada waktu itu.
Pondok Pesantren An-Nashuha didirikan pada tahun 1248 H / 1827 M oleh Embah KH. Uzer Nashuha berlokasi di Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon, sebuah Desa yang sebelumnya bernama Kalibuntu, adalah Desa yang berada ditepian sungai Cisanggarung sebagai garis perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah kurang lebih 5 Km dari arah Losari dan 7 Km dari arah Ciledug. Pondok Pesantren An-Nashuha sejak didirikannya bukan hanya mencetak para Santrinya menjadi Kadar-kader ‘Ulama untuk melestarikan estafeta Kepemimpinan Pesantren dan Izzul Islam Wal Muslimin di daerahnya masing-masing sebagai Pengawal Hazanah Keilmuan Keagamaan ditanah air, tetapi secara kolektif para Kyai Pengasuh Pesantren dan para Santri membangun Patriotisme, Nasionalisme dan Hubbul Wathan (Cinta Tanah Air).
Maka semangat anti Penjajahpun dikobarkan, para Kyai Pengasuh Pesantren dan para Santrinya ikut terlibat langsung dalam berbagai grilya dan pertempuran. Melawan Penjajahan Kolonial, baik untuk mencapai kemerdekaan maupun dalam rangka mempertahankan Kemerdekaan itu sendiri. Sampai akhirnya mengisi Kemerdekaan dengan melakukan kajian-kajian terhadap ilmu keagamaan bersama para Santri.
Salah satu karomah beliau yang banyak disaksikan orang adalah dikala membangun masjid Jami’ Baiturrahman (sekarang disamping Balai Desa Kalibuntu) kekurangan kayu untuk tiang inti (tengah) sebagai penyangga kubah, kemudian beliau bermusyawarah bagaimana untuk mendapatkan kayu tersebut, kemudian salah seorang memberitahukan bahwa di Kalibuntu Sabrang Wetan (Jawa Tengah) terdapat banyak kayu milik H. Abdur Rouf, kemudian Embah KH. Uzer menemuinya dan menyampaikan perihal kedatangannya dan H. Rouf-pun mengantar beliau dan mempersilahkan Embah KH. Uzer untuk memilih kayu yang pas untuk dijadikan tiang itu. Kemudian Embah KH. Uzer mencari kayu tersebut di blok Alas Depok, setelah mendapatkan kayu yang pas Embah KH. Uzer berpamitan untuk pulang dan menyampaikan bahwa yang akan membawa kayunya nanti para anak muda dari Kalibuntu. Kemudian Embah KH. Uzer menyampaikan kepada jama’ah bahwa dia telah mendapatkan kayu dan tinggal diambil, di sabrang wetan kalibuntu blok alas depok (kebun milik H Ro’uf), kemudian dipilihlah anak-anak muda yang kuat dan kekar untuk mengambil kayu tersebut mereka di komandani H Mawardi (menantu Embah KH Uzer Nashuha) yang ditunjuk langsung oleh beliau, sebab H Mawardi dianggap paling unggul diantara mereka baik dalam hal berbicara, ilmu maupun tenaganya. Berangkatlah mereka ke sabrang wetan untuk mengambil kayu, ketika sampai disana ternyata mereka mesti dalam jumlah yang banyak tidak mampu mengangkat kayu itu terlebih membawanya ke Kalibuntu, akhirnya terpaksa mereka pulang dengan tangan hampa dan menghadap Embah KH. Uzer Nashuha, sebelum mereka menjelaskan lebih dulu Embah KH. Uzer menanyakan mereka “Endi kayune… ka balik lembean bae ?”, mereka menjawab “Boten kiat Kiyai!”, “Ya-ampun ente kah dadi wong enom priben, gawa kayu semono baekuh abot, ya- wislah ora papa!” ujar Embah KH. Uzer, hingga siang hari, sore sampai larut malam mereka memikirkan bagaimana cara untuk membawa kayu itu, namun ketika senja datang ternyata kayu itu sudah berada dihalaman mesjid.
Kayu tiang itu sampai sekarang masih ada, namun setelah masjid itu direhab beberapa kali dan sekarang kayu jati itu dibuat untuk jendela mesjid.
Embah KH. Uzer Nashuha banyak menimba ilmu dari ayahandanya sejak usia dini sebelum melanglang buana dari satu pesantren ke pesantren yang lain, sampai akhirnya beliau berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji sekaligus bermaksud muqim disana untuk menuntut ilmu. Hal yang demikian sudah menjadi kelaziman pada zamannya KH. Hasyim Asya’ri, KH. Mahfudz At-Tirmasi, KH. Kholil Bangkalan, KH. Arsyad As-Sambasi, KH. Yasin Al-Fadani bahkan KH. Nawawi Al-Bantani, Masyayikh tersebut berangkat ke Mekkah untuk melakukan ibadah Haji dan sekaligus muqim disana guna memperdalam ilmu agama.
Tetapi manusia hanya bisa berikhtiar dan berharap, sesungguhnya semua yang terjadi diatas bumi dan langit semuanya telah tersurat dalam qodlo dan qodar Allah SWT, Embah KH. Uzer Nashuha harapan ayahandanya itu ditaqdirkan Allah SWT untuk tidak dapat pulang selamanya untuk memangku estafeta kepemimpinan Pondok Pesantren, beliau wafat di Mekkah dan dimakamkan disana. “inna lillahi wainna ilaihi roji’un”
KH. NASHUHA MANSHUR UZER
1868 – 1927
Nama lengkapnya Nashuha Manshur, artinya yang tulus, yang murni, yang ditolong Allah menuju jalan yang di Ridloi-Nya. Putera sulung Embah KH. Uzer ini merupakan tonggak pilar supermasi penting dalam perjalanan Pondok Pesantren An-Nashuha, namanya diabadikan sebagai nama Pondok Pesantren yang didirikan ayahandanya.
Beliau putera tertua dari 8 bersaudara hasil perkawinan Embah KH. Uzer dengan istri pertamanya Ny. Hj. Palkini, delapan bersaudara tersebut yaitu KH. Nashuha, KH. Amdad, Ny. Hj. Ruqoyyah, KH. Autad Abd. Syakur, KH. Mu’adz, Ny. Iskiyah, Ny. Muslimah dan KH. Ma’shum.
Sebagai putera sulung, KH. Nashuha sangat didambakan ayahandanya sebagai pengganti dan pewaris estafeta kepemimpinan Pondok Pesantren. Maka tidak aneh jika beliau sangat disayang dengan terus menerus dimotifasi untuk memperdalam ilmu agama diberbagai pesantren.
Keluarga Besar Pesantren An-Nashuha memahami betul akan keinginan dan harapan besar Embah KH. Uzer terhadap putera sulungnya ini, hal ini dapat dilihat dari cara bagaimana beliau menimang, mendidik dan meperlakukan Nashuha kecil.
Sehingga Embah KH. Uzer dipanggil Bapak Nashuha artinya Ayah dari Nashuha, sebutan tersebut terus berlangsung sampai akhirnya orang tidak lagi memanggil Embah KH. Uzer kecuali dengan sebutan Embah KH. Nashuha, maka sejak itulah dikenal dua Nashuha yaitu Nashuha Tua yang tiada lain Embah KH. Uzer dan Nashuha Bocah (anak) yang tiada lain pula Nashuha Manshur si putera sulung
KH Nashuha Manshur menikah dengan seorang perempuan yang masih ada hubumgam keluarga bernama Ny Fatmah dari Kebonagung Pasuruan dan dikaruniai 8 (delapan) orang anak yaitu Fatimah bocah, K Umar, K Muhammad, K Fadlol atau Falal, K Agus, Ny Sapura, K Bukhori dan Ny Salamah.
Harapan Embah Uzer nampak berhasil dengan gemilang, KH Nashuha Manshur disamping mampu meneruskan estafeta kepemimpinan Pesantren, beliau juga berhasil mengembangkan dzurriyyah dan kekerabatan dengan Kyai kyai lain sehingga Bani Nashuha menyebar keberbagai desa dan daerah untuk mengembangkan da’wah Islamiyah agar lebih merata.
Dibawah kepemimpinan beliaulah Pondok Pesantren An Nashuha makin eksis, pengakuan dan kepercayaan masyarakat terhadap Pesantren makin kuat dan mengakar, sehingga Desa Kalibuntu Blok Wage saat itu dikenal kuat sebagai Blok Pesantren.
Beliau Wafat dengan meninggalkan jasa besar atas eksistensi Pondok Pesantren An Nashuha sebagai peninggalan yang harus diwarisi oleh para dzurriyyahnya dan dimakamkan di Kebonagung Pasuruan Losari.
KH. ABDUS SYAKUR ( KH. AUTAD )
1927 – 1948
KH. AUTAD lahir pada zaman penjajahan Belanda yang pada masa pimpinan pertama bernama raja Walminah ( Will Helmina ). Beliau lahir dari garwa pertama yaitu Ny. Palkini dengan KH. Uzer Nashuha putera Ny. Kafiyah keturunan dari KH. I’rob Ki Buyut Kafiyah Tua, Kiai autad keturunan ke 4 yang terdiri dari :
1. KH. Nashuha Bocah
2. KH. Amdad
3. Ny. Rokayah
4. KH. Autad Abdusyukur
5. Ny. Isqi
6. K. Mu’ad
7. Ny. Muslihah
8. KH. Ma’sum
Sedangkan dari garwa NY. Siti memperoleh keturunan 6 orang, adalah :
1. Ny. Rolah
2. Ny. Shofiyah
3. K. Abdur Rozaq
4. K. Fadhil
5. KH. Ihsani
6. Makyadi
Kemudian beliau dikawinkan dengan Ny. Hj. Nashifah, dan mendapatkan keturunan diantaranya adalah :
1. KH. Sufyan Autad
2. Ny. Hj. Khafshah
3. K. Amin autad
4. Hasan
Kiai Autad adalah sederet nama-nama Ulama besar, Pahlawan Nasional, tokoh perjuangan kemerdekaan.
Menghadapi santri bukan hal baru bagi Kiai Autad Selama hidupnya beliau adalah seorang guru ngaji yang istiqomah mengajarkan ajaran agama islam pada masyarakat dan terutama kepada para santrinya serta rutinitas sehari-harinya adalah sebagai petani tulen sebagai lahan tanggung jawab sosok kepala keluarga.
Menurut salah satu santrinya, Kiai Autad melaksanakan pengajian kepada para santrinya itu selama tiga kali pengajaran yaitu waktu ba’da Dzuhur, ba’da Ashar, dan ba’da Subuh. Kegiatan pengajian mulai digelar sambil setahap demi setahap diadakan bilik-bilik santri, kitab-kitab yang diajarkan pada saat itu adalah kitab-kitab tulisan tangan dari kitab salafi karangan para ulama dahulu, kitab suci Al-Qur’an dari segi membacanya dan memahaminya. Dan pengajiannya itu diikuti kebanyakan dari santri lingkungan masyarakat setempat. Dan belum ada santri yang mukim atau dari daerah-daerah yang jauh.
Hal yang menonjol pada sosok Kiai Otad, beliau seorang yang berwawasan luas, disamping ilmu-ilmu lainnya, beliau seorang penganut Thoriqot Qodiriyah Wa Nahsabandiyah dari sang guru KH. Mahfudz Pekalongan. Sehingga beliau dalah termasuk jajaran kiai yang khusu dalam pendekatannya kepada sang kholik.
Dan pada tahun 1948, KH. Otad wafat dikarenakan sakit pada masa tiga tahun menjelang kemerdekaan tanah air 1945 dari masa penjajahan colonial Belanda dan musuh sekutu Jepang.
KH. SUFYAN AUTAD
1906 – 1971

KH Sufyan dilahirkan pada Tahun 1906 M di Desa Kalibuntu Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon, 5 km dari Kecamatan Losari dan 7 km dari Kecamatan Ciledug, yang pada saat itu masih diliputi keterbelakangan dari berbagai aspek baik pendidikan, ekonomi, sosial maupun budaya.
Beliau adalah putra pertama dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan KH Autad Abd Syakur dan Ny Nasifah, empat bersaudara itu ialah pertama KH Sufyan, Puteri keduanya Ny Hj Khofsah, putera ke tiga Amin dan putra ke empat Hasan.
KH Abd Syakur putera dari KH Uzer (Nashuha Tua) putera Ny. Hj. Kafiyah (Kafiyah Bocah) binti KH. I’rob (Ki Buyut Kafiyah Tua) bin KH. Adro’i (Ki Buyut Habibah / Ki Buyut Peti) dari Demak yang saat periode berikutnya KH. Nashuha di kukuhkan sebagai nama Pondok Pesantren. Hal ini agar anak cucunya selalu ingat dan mendapatkan barokah dari Embahnya, karena KH Nashuha seorang Ulama yang memperjuangkan agama/Pesantren, yang kemudian perjuangan beliau diteruskan oleh anak cucunya sampai sekarang.
Harus di ketahui melahirkan generasi Kyai, bukanlah hal yang gampang, lantaran Kyai itu sendiri bukanlah semata hasil pendidikan pondok pesantren dan apalagi sekolahan atau perguruan tinggi. Sosok Kyai adalah insan yang betul-betul pilihan bukan semata karena keilmuan yakni mumpuning dalam ilmu pengetahuan keislaman namun lebih dari itu sosok Kyai seakan di lahirkan oleh alam dan ada pengakuan dari masyarakat.
Dari gambaran silsilah di atas dapat di katakan bahwa KH Sufyan merupakan keturunan Kyai yang notabene memperjuangkan agama/pesantren dan juga ada pengakuan dari masyarakat.
Pada zamannya beliau banyak lembaga pendidikan seperti sekarang ini, kalaupun ada lembaga pendidikan formal saat itu yang bisa masuk dan mengenyam pendidikan hanya orang-orang tertentu. Hampir mayoritas pada zaman itu yang paling tepat adalah pendidikan/lembaga Pondok Pesantren, sebagaimana lazimnya keluarga pesantren beliau menjadi harapan keluarga untuk menjadi seorang yang alim untuk dapat meneruskan orangtuanya/ayahandanya sebagai pengasuh pondok pesantren.
Dalam usia yang masih dini Sufyan mengaji Al-Qur’an dan kitab-kitab salaf yang di ajarkan ayahandanya di pesantren yang di asuhnya. Kemudian belajar agama di pondok-pondok pesantren lain seperti di pondok pesantren panggangsari Losari Cirebon, lalu pindah ke Pondok Pesantren Luwung Ragi Brebes Jawa Tengah, setelah beberapa tahu kemudian di berangkatkan ke Pesantren Gedongan Ender Cirebon, lalu pindah ke Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.
Sepulangnya dari pondok pesantren beliau mengajar di Madrasah Diniyah atau Sekolah Arab dan mengajar mengaji di rumahnya membantu ayahandanya. Sekolah arab pada zaman dulu merupakan satu-satunya lembaga yang di kelolanya dengan para kiyai lainnya.
Beberapa tahun kemudian beliau menikah dengan seorang wanita yang bernama Saunah binti H. Siroj bin Ny. Hindun binti Ny. Hj. Kafiyah binti KH. I’rob bin Buyut Habibah (Ki Buyut Peti) berasal dari Losarilor Cirebon pada tahun 1940, dan dikaruniai dua orang anak yaitu Hasanah dan Zubaidi. Dua tahun setelah pernikahannya dengan Saunah tepatnya 1942 beliau hijrah dan tinggal bersama mertua di Losari. Selanjutnya beliau kembali ke Kalibuntu setelah bercerai dengan Saunah pada tahun 1951, kemudian menikah lagi dengan Ny. Hj. Sholihan binti KH. Ilyas dan dikaruniai lima orang anak, yaitu Ahmad Ghozi, Hamzah, Masduqi, Ridwan dan Ma’rifah.
Di samping mengajar ngaji dan mengajar di Sekolah Arab (Madrasah Diniyah) beliau mengisi pengajian di mushola-mushola di Desa Kalibuntu. Bahkan beliau menjadi imam Rowatib di Masjid Jami’ Desa Kalibuntu, padahal jarak antara rumah ke masjid sekitar kurang lebih 1 km. Namun beliau tetap kuat dan gigih dalam memperjuangkan Agama, sehingga beliau tidak mengenal lelah. Sete1ah usia semakin lanjut/tua kemudian Imam Rowatib di Masjid Kalibuntu diserahkan kepada orang lain lalu beliau menjadi Imam Rowatib di Masjid Pesantren. Inilah sekelumit sejarah secara singkat kiprah dan perjuangan KH Sufyan.
KH Sufyan sakit cukup lama, beliau menderita sakit paru-paru akhirnya beliau wafat pada hari kamis, Juni 1971 bertepatan dengan Pemilu ‘71 dalam usia 65 tahun.
KH. MANSHUR ABDUL MANAN
1910 – 1973

Laki-laki bertubuh tinggi besar kelahiran tahun 1910 putra dari pasangan KH. Abdul Manan dan Ny. Hj. Wasfiyah ini merupakan salah satu santri langsung Almarhum almaghfurlah KH. Abbas bin KH. Abdul Jamil Buntet Pesantren, KH. Manshur mengambil Sanad Qiroatul Quran, Ilmu-ilmu Syari’ah, Tasawuf dan Al-Hikmah juga dari beliau, maka tidak aneh jika dalam hidup dan kehidupannya selalu Ta’dzim, nunut manut, Sam’an watho’atan terhadap Kyai-kyai Buntet Pesantren. Disamping mengaji Alquran dan Kutubus Salafi KH. Manshur rajin melakukan Riyadloh dan Wadzifah dalam thoriqoh dan Al-Hikmah. Sepulang dari Pesantren beliau mempersunting seorang gadis Ny. Hj. Khafshoh Putri dari KH. Otad Abdus Syakur Pengasuh Pesantren An-Nashuha pada waktu itu dan dikaruniai 3 orang putra dan 9 orang putri, satu-satunya anak laki-laki yang hidup adalah KH. Moh. Usamah Manshur yang sekarang memegang tampuk estafeta kepemimpinan Pesantren.
Pasca pernikahannya dengan Ny Hj Khofsah, KH Manshur memboyong isterinya ke desa kelahirannya Babakanlosari setelah lahir anak pertama Ahmad Faqih tahun 1947, beliau di panggil Mertuanya untuk tinggal di Kalibuntu untuk membantu mengelola Pesantren karena K Sufyan sebagai anak tertuanya tinggal bersama isterinya di Losari maka KH Manshurpun berkiprah membantu mertuanya dengan mengajar Al-Qur’an dan kitab-kitab salafi terhadap para santeri dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat umum sebagaimana lazimnya pengasuh Pesantren.
Disamping kedermawanannya yang melekat, hobinya menjala dan seni mengajarkan genjring marhaban dan sholawat kepada para santrinya, naik turun kegunung untuk bergerilya melawan penjajah/sekutu Belanda, itulah KH. Manshur yang selama hidupnya melakukan bimbingan ilmu dan bekal kepada para pemuda sebagai salah satu bentuk persiapan untuk melakukan pertahanan dan perlawanan kepada pasukan sekutu di masa penjajahan. Beliau menjadikan persatuan pemuda dengan membentuk serta merapatkan barisan didalam pasukan Hisbullah, mereka membaur bersama pasukan lainnya yang siap berada barisan terdepan dalam pertempuran melawan penjajahan Belanda dengan semangat juang yang tinggi.
Selanjutnya kelompok DI (Darul Islam) yang tergabung dari pemuda-pemuda yang membentuk jajaran tentara Islam dan beliau sendiri sebagai pimpinannya. Namun disamping itu munculnya kelompok lain yang mengatas namakan dari sebagi kelompok pemuda Islam yaitu Gagak Solo atau disebut juga kelompok Gagak Hitam, yang dipimpin oleh Maun dan Bangsa yang melenceng dari koridor perjuangan dan malah menebar fitnah terhadap kelompok pimpinan KH Manshur untuk diadudombakan dengan musuh sekutu Belanda di awali dengan terbunuhnya seorang security Belanda yang bertugas menjaga kebun tebu di Kalibuntu, kematian tentara belanda tersebut di manfaatkan oleh kelompok tersebut untuk menebar fitnah bahwa yang membunuh tentara belanda tersebut tiada lain KH Manshur.
Maka tak ayal lagi KH Manshur yang baru saja menikahkan Aman keponakan isterinya dengan adiknya Mahmudah binti KH Abd Manan di tangkap di ikat di tutup kedua matanya di seret dengan Jeep di lempar di bawah pohon kelapa dan badannya di hujani seluruh buah kelapa yang ada di atasnya, penyiksaan tersebut tidak berhenti sampai di situ, sesampainya di penjara beliau di paksa untuk minum seember air sabun, diinjak-injak dan di tendang di paksa untuk menelan satu pak peluru/amunisi aktif dan minum air keras, tetapi berkat Inayah dan Riayah Allah SWT beliau selamat tanpa luka sedikitpun. Padahal teman seperjuangan yang sama-sama di tangkap, H Dasuku Pasuruan meninggal karena tak tahan siksaan dan H Rais , Babakan maninggal karena lari dan di tembak Belanda, pada ahirnya kelompok Gagak Hitampun habis ditumpas dan disadarkan.
Dari kasus inilah nama besar KH Manshur tersohor sebagai seorang Kiyai yang sakti mandraguna yang terkenal dengan memiliki Indera Keenam, maka tidak aneh jika banyak orang berdatangan dari berbagai daerah seperti Subang Pasundan, Ibu Kota Jakarta, Jawa Tengah bahkan Palembang dan daerah luar Jawa lainnya dari masyarakat biasa, para Kuwu, Pejabat samapi Perwira tinggi TNI. Beliau terus melakukan Da’wah Islamiyah baik secara dialogis maupun monologis dengan sekaligus pemantapan Thoriqoh Spiritual dan ritual-ritual Al-Hikmah..
Dengan demikian tidak aneh kalau rumah beliau dibakar habis oleh musuh-musuh perjuangannya dan kerap kali beliau keluar masuk penjara, suatu saat dalam keadaan sakit beliau ditangkap diikat kedua tangan dan kakinya serta ditutup matanya diseret dengan Jeep dicekoki seember air sabun kemudian diletekkan dibawah pohon kelapa, kemudian dengan serta merta buah kelapa yang ada dijatuhkan semua menimpa tubuhnya, akan tetapi dengan kelinuihan ilmu beliau serta atas pertolongan Allah, air sabun dan kelapa-kelapa yang ditimpakan kepada beliau tidak berpengaruh apa-apa, sehingga makin membuat geram pihak musuh, dengan demikian pantas sosok manusia semacam Kyai Manshur senantiasa dikejar-kejar Belanda untuk dibunuhnya dimanapun beliau berada.
KH. Manshur-pun merespon Resolusi Jihad yang dikumandangkan Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama di Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia Hukumnya Fardlu ‘Ain bagi Umat Muslim Indonesia, maka pada tanggal 10 November 1948, KH. Manshur ikut serta mengawal KH. Abbas Buntet Pesantren ke Surabaya untuk bergabung dengan Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ari, Bung Tomo dan Arek-arek Suroboyo lainnya dalam Pertempuran melawan tentara sekutu.
Siapa yang tak kenal perjuangan KH. Manshur, salah satu sejarah yang memperkuatkan bahwa Kyai Manshur adalah pejuang pembela tanah air, sehingga beliau dianggap musuh oleh tentara Belanda, maka banyak sekali yang mengincar beliau untuk ditangkap dan dibunuh, namun dengan kekuasan Allah SWT dan karomah yang dimilikinya, beliau tidak mendapatkan rasa putus asa sedikitpun.
Salah satu karomah beliau adalah kebal terhadap peluru-peluru yang ditembakan pada tubuhnya oleh pasukan Belanda, kuat terhadap tindasan tank-tank Belanda, dan ahli ilmu Hikmah. Kuwu Sabdani dan Ibu Kuwu suatu saat berkunjung di rumah KH Manshur tiba-tiba datang 4 orang langsung masuk ke ruang dalam rumah dan mengeroyoknya, mereka adalah dua bersaudara Yasin, Yasa dan dua orang lain sebagai pembunuh bayaran. Kyai Manshur di bacok berulang-ulang dengan parang dan golok di kala Pak Kuwu sibuk dan bingung bagaimana melerai pengeroyokan tersebut ternyata di ketahui Kyai Manshur sedang santai merokok di ruang tamu, jadi siapakah sesungguhnya orang yang di keroyok dan di bacok tersebut? Di kala di tanyakan kepada Kyai Manshur beliau hanya tersenyum simpul.
Pada masa kepemimpinan Kyai Manshur kiprahnya tidak hanya terkonsentrasi kepada santri dan pondok pesantren tetapi kemasyarakat secara umum beliau siap menjadi perangkat desa menjadi Ngebihi (Kaur Ekbang) pada dekade tahun 60-an pada saat Kuwu Sabdani desa Kalibuntu (belum ada Kalimukti), selama menjabat beliau tidak pernah menariki pajak dari masyarakat tetapi sebaliknya pajak ditanggungnya sendiri (ditomboki), hal ini menunjukan bahwa beliau memiliki kedermawanan, kepedulian dan pengabdian yang tinggi terhadap masyarakat.
Setelah bebas tugas dari Pemerintahan Desa disamping bertani dan beternak kambing kiprah beliau sepenuhnya terkonsentrasikan untuk mengembangkan Pesantren An-Nashuha dengan terus melayani para santri dan masyarakat pada umumnya.
Kharisma Kyai Manshur banyak membantu merebaknya nama pesantren An-Nashuha. Tidak heran bila jumlah santri semakin bertambah banyak disampimg masyarakat sekitar pesantren An-Nashuha banyak pula santri dari desa-desa tetangga dan bahkan dari wilayah Subang, Kuningan, Brebes dan lain-lain mereka nyantri ke Kyai Manshur, disamping itu banyak tamu yang berdatangan untuk minta Barokah Ziayadah do’a, konsultasi, mengaji dan menjadi santri tetap di Pondok Pesantren An-Nashuha.
Ajaran KH Manshur yang sangat terkenal di kalangan para santrinya adalah semboyan “ULAH KAGEDAG KA LINIAN, GATULI WETON KA PAGEUH” Artinya kira kira “Jangan pernah takut bayang-bayang tapi berpegang teguh Aqidah dan Syariah yang kuat”.
Adapun putera puteri beliau hasil pernikahannya dengan Ny. Hj. Khafshoh dikaruniai 3 orang putra dan 9 orang putri yaitu : Ahmad Faqih, Aminah, Tadzkiroh Haiah, Salamah, Karimah, Muridah, Sibawaih, Tul Asiroh, Yumnani, Muhammad Usamah, Kafiyah dan Riayah.
Sedangkan para menantu beliau adalah : K. Achyad Abd. Mu’in, Ust. Maufur, K. Abd. Jalil, K. A. Faridi, Ust. Ridlwan Sholeh, Ny. Hj. Munyati, K. Ibnu Umar Susilo dan Ust. Mukhyar Basyir.
Beliau sempat menikah lagi dengan seorang janda dari Desa Kedungneng Losari Jawa Tengah tetapi tidak dikaruniani anak.
Beliau wafat pada bulan Juni 1973 dalam usia 63 tahun dengan meninggalkan jasa besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan Pondok Pesantren An-Nashuha dan dikuburkan di Maqbaroh Khusus Keluarga di Kalimukti dan Maqbarohnya sampai sekarang ramai dikunjungi peziyarah baik para santri maupun masyarakat umum.
KH. AHYAD ABDUL MU’IN
1934 – 1978

Beliau lahir sebelum masa kemerdekaan di Desa Kalimukti yang pada saat itu masih bernama Kalibuntu, tepatnya pada 16 Juni 1934 dari pasangan Abdul Mu’in dan Istighotsah binti Ny Iskiyah binti K Uzer.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SR (Sekolah Rakyat) beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren pada tahun 1945, di antara Pondok Pesantren yang pernah beliau singgahi adalah Pondok Pesantren Buntet. Selama enam tahun beliau menimba ilmu disana, sejak tahun 1946 hingga tahun 1951. Selama di sana beliau tinggal di Asrama Kyai Zein Abd Mun’im.
Setelah beliau menamatkan Madrasah Ibtidaiyah di Pondok Buntet Pesantren beliau melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri jawa Timur, yakni pada tahun 1952. Di sana beliau bertemu dengan banyak teman yang masih satu daerah, seperti Najib dari Jatiseeng, Abdullah dari Damarguna, Makhfuf dari Ciledug dan masih banyak lagi teman sedaerah lainnya. Di sana beliau tinggal di Asrama Malaya, di namakan Asrama Malaya karena sebelum di tempati oleh anak-anak dari Kecamatan Ciledug, terlebih dulu di tempati oleh anak-anak dari Malaisya.
Di sana beliau di terima masuk di kelas empat Madrasah Ibtidaiyah setelah melalui runtutan tes, diantaranya menghafal 350 bait Nadzom Alfiyah, membaca Kitab Fathul Mu’in dan harus menjawab sepuluh soal yang diambil dari berbagai fan ilmu yang ada, seperti Nahwu, Shorof, Fiqih, Ushulul Fiqh, Tauhid, Tafsir dan Mustholahul hadits. Beliau termasuk santeri yang cerdas dibandingkan dengan teman-temannya yang lain yang diterima masuk ke kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah.
Pada pertengahan bulan Januari tahun 1955 beliau mendapatkan surat dari orang tuanya Abdul Mu’in di kalibuntu, yang berisikan perintah agar beliau bergegas pulang, karena ada kepentingan yang sangat mendesak, dalam hal ini beliau akan di nikahkan dengan Aminah puteri sulung KH Manshur Abd Manan yang saat itu Pengasuh Pondok Pesantren An-Nashuha generasi yang ke empat, yang di beritahukan saat beliau sampai di rumah. Beliau tidak bisa menolak karena semua persiapan sudah matang, pernikahan itu berlangsung pada 15 Januari 1955 M bertepatan pada 25 Jumadil Awal 1374 H, beliau menikah pada usia 21 tahun, sedang Aminah berusia 15 tahun.
Sepuluh hari setelah pernikahannya beliau kembali ke Pondok pesantren Lirboyo untuk melanjutkan pendidikannya yang tinggal beberapa bulan lagi. Dan setelah di nyatakan lulus dari Madrasah Ibtidaiyah Hidayatul Mubtadiin yang pada saat itu selaku Kepala Madrasahnya adalah KH Mahrus Ali, pada tanggal 9 April 1955 M bertepatan 19 Sya’ban 1374 h, beliau melayangkan sebuah surat permohonan izin kepada orang tua dan mertuanya untuk menambah satu tahun lagi di Lirboyo karena ada kitab yang belum khatam di kaji, yaitu kitab Sirojuttholibien dan Kitab Ihya Ulumuddien yang sedang di kaji oleh KH Marzuki Dahlan selaku Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo pada waktu itu, dan KH Manshurpun mengizinkannya.
Pada tanggal 10 April tahun 1956 H bertepatan 21 sya’ban 1375 H, beliau secara resmi boyong (Istilah untuk santri yang selesai Mondok dan pulang ke rumah) dari Pondok Lirboyo Kediri, kepulangan beliau di sambut hangat oleh masyarakat kalimukti, khususnya di lingkungan Pesantren, hingga satu tahun setelah kepulanggan beliau, beliau menyampaikan gagasan untuk mendirikan Madrasah kepada KH Manshur Abd manan dan KH Sufyan selaku Pengasuh dan Sesepuh Pondok Pesantren An-nashuha waktu itu, setelah mendapatkan restu dari keduanya lalu berdirilah Madrasah Diniyah dengan di beri nama Madrasah Salafiyah yang saat itu bertempat di Mushala Kyai Asy’ari yang sekarang menjadi Masjid Al-Barokah. Kyai Asy’ari adalah kakek beliau menantu dari Kyai Uzer pendiri Pondok Pesantren An-nashuha yang di kenal dengan Kyai Nashuha tua.
Beliau di karuniai enam orang anak, namun anak yang pertama dan yang ke dua meninggal ketika masih dalam usia kanak-kanak, anak ke tiganya bernama Abu Hayan yang sekarang berdomosili di Pondok Pesantren Gedongan, anak ke empat juga meninggal pada usia tiga bulan, lalu anak ke lima perempuan bernama Qoyumah sekarang berdomosili di Desa babakan Losari, dan anak yang ke enam laki-laki bernama Wildan sekarang berdomisili di Pondok Pesantren An-Nashuha, anak terakhir perempuan akan tetapi meninggal hanya beberapa saat setelah di lahirkan.
Beliau di kenal masyarakat sebagai seorang yang yang sangat sabar dalam mendidik santri, hal ini karena beliau selalu melaksanakan amanat dari KH Marzuki Dahlan agar santri setelah pulang ke rumah, jangan sampai tidak mengajr. Beliau meninggal pada tahun 1978, saat Abu Hayan baru berusia 11 tahun, Qoyumah berusia 8 tahun sedang Wildan berusia 5 tahun.
K. ABDUL DJALIL
1942-1992

Beliau adalah sosok kyai yang bersahaja, supel dengan masyarakat, dilahirkan pada tanggal, 04 Juni 1942 dari delapan bersaudara beliau adalah putera ke dua dari pasangan K. Hasan
Jari dengan Ny. Zaenab. K. Abdul Jalil menikah dengan Ny. Salamah Binti KH. Manshur dan dalam kesehariannnya beliau juga dipercaya untuk mengasuh Pondok Pesantren An-Nashuha Kalimukti Pabedilan Kab. Cirebon.
Sejak kecil beliau terkenal seorang yang ulet, rajin bekerja dan mandiri, karena kondisi orang tua yang kurang mampu sehingga harus bekerja keras baik untuk belajar maupun membantu orang tua.
Riwayat Pendidikan Pesantren
Dengan modal semangat yang tinggi pada tahun 1955-1958.Beliau berangkat untuk mesantren, Pesantren pertama yang beliau tuju adalah di Pondok Pesantren Buntet Cirebon, tepatnya di Asrama K. Hamim Kemudian selama 3 tahun beliau di Buntet Pesantren kembali Pindah Pesantren yakni di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri pada tahun 1958, Beliau di Lirboyo masuk di kelas IV Madrasah Ibtidaiyah Hidayatul Mubtadiin dan Lulus pada Tahun 1961, serta melanjutkan ke Jenjang Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadiin dan Lulus Tahun1964.
Riwayat Pendidikan Formal
Sebagai seorang yang selalu meningkatkan Pengetahuan sepulangnya dari Lirboyo beliau mengikuti Pendidikan Ekstensen Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri Cirebon dan Lulus Tahun 1972 selanjutnya beliau mengikuti Pendidikan PGAN 4 Tahun di Cirebon Lulus tahun 1976 dan melanjutkan ke PGAN 6 Tahun di Cirebon lulus tahun 1978, untuk pertama kalinya beliau dianggat sebagai Pegawai Negeri Sipil Tahun 1976 dan di tempatkan di SDN Kalibuntu Ciledug Cirebon. Selama 7 tahun beliau bertugas di SDN Kalibuntu beliau dimutasi di MI Salafiyah, yang sekarang MI An-Nashuha sekaligus sebagai Kepala MI Salafiyah, tepatnya tahun 1982 Selama 10 Tahun beliau menjadi Kepala MI Salafiyah Kalimukti Kec. Pabedilan Cirebon. (1982-1992)
Pada Hari Rabu Tanggal 21 Oktober 1964 Belaiau K. Abdul Jalil menikah dengan Ny. Salamah Binti KH. Manshur. Ketika menikah belaiau K. Abdul Jalil berusia 20 Tahun dan Ny. Salamah berumur 16 tahun. Dari Pernikahannya beliau dikaruniai Tiga Putera dan dua Puteri (1) Adjhari –Wafat dalam usia 5 tahun 1965-1970 (2) Hidayah yang menikah dengan Abdul Malik bin Ghozali dikaruniai 3 Putera dan 2 puteri – ahmad Ulinnuha, Nailul Marom, Atiq, Ghina, dan Rizqi. (3) Ahmad Jari menikah dengan Munawaroh Binti H. Turmudzi dikaruniai dua Putra – ahmad Syafiq Krisdawahid, Fuad hanif Zuhaili (4) Aniroh menikah dengan Nuruddin Bin H. Yahya (Tanjung) dikaruniai 2 puteri – Fifi Kholishoh, Inas Dzihni Zahiroh (5) Ahmad Zuhri menikah dengan Bunga Kartika (Ciledug) dikarnuniai 1 Puteri – Husna Ziyadah Puteri.
Dalam kiprahnya Beliau bersemangat memajukan pesantren, menjadi Imam Roatib, Imam Tarowih Khotib juga Pengajian Rutin dimajlis Talim, disamping tugas Pokoknya sebagai Pendidik di Madrasah, Namun Allah SWT memanggil beliau untuk kembali menghadapnya pada usia 50 Tahun ( 1942 – 1992 ) selang delapan tahun tepatnya tahun 2000 Ny. Salamah sebagai Istri juga dipanggil menghadap Allah SWT. Dalam usia 52 tahun (1948-2000).
K. MUNAWIR MUSYAFA
1927 – 2000

K. Munawir adalah putra sulung dari pasangan K. Musyafa dan Ny. Khasinah, beliau di lahirkan sekitar pada hari Rabu Tanggal 06 Oktober 1927 di Desa Losarikidul blok Panggang kidul Kec. Losari Kab. Cirebon, bilau adalah anak cucu K. ‘Uzer (K. Nasuha tua), beliau termasuk dari keturunan Ny. Tua dan Ny. Muda, dari Ny. Tua yaitu dari Ayah (K. Musyafa bin Ny. Rukayah binti Ny. Palkini K.’Uzer) dari Ny. Muda yaitu dari Ibu (Ny. Khasinah binti Ny.Rolah (Ny. Raodloh) binti Ny. Siti K. ‘Uzer).
Beliau menutut ilmu di Pondok Pesantren semenjak usia 9 tahun, sekitar tahun 1936 di Pondok Pesantren Gedongan, kemudian setelah menginjak dewasa beliau melanjutkan di Pondok Pesantren Buntet sekitar tahun 1946, beliau di Asramanya K. Khamim tetapi belajar mengaji Al-Qur’an mereka di KH. Zen bin K. Mun’im, tetapi setelah tiga tahun beliau pindah di asrama KH. Zen bin K. Mun’im beliau di Buntet selama 6 tahun, selanjutnya beliau melanjutkan di Pondok Pesantren Kempek namun tidak lama sekitar 1 tahun, beliau di K. Aqil Siraj, kemudian dari pesantren Kempek pindah ke Pondok Pesantren Pekalongan selama 3 tahun, setelah dari Pekalongan beliau melanjutkan di Pondok pesantren Kaliwungu Kendal selama 3 tahun kemudian beliau melanjutkan di pondok Pesantren Banten selama 1 tahun, kemudian beliau kembali di Pondok Pesantren Buntet selama 2 tahun, kemudian beliau oleh Ayahandanya di jemput untuk boyong dan setelah itu dinikahkan dengan seorang putri yang bernama Maemunah yaitu putri ke 6 dari 7 saudara beliau yaitu putri dari pasangan Walmin (Abdul Mu’in) dan Gosah binti Ny. Iskiyah, kemudian beliau dikaruniai putra sebanyak 10 orang di antaranya anak anak pertama dan kedua meninggal sejak masih balita yaitu diberi nama Nahdudin dan yang kedua di beri nama Khaeriyah, anak ke tiga sampai ke 10 sampai sekarang masih ada yaitu anak ketiga diberi nama Khaelani sekarang sudah berkeluarga dan bertempat tinggal di Desa Panggangsari mereka di karuniai anak 3, anak ke empat diberi nama Zulfa mereka sudah berkeluarga dan di karuniai anak 5 dan bertempat tinggal di Kalimukti, anak ke lima diberi nama Sodikin dan sudah berkeluarga dikaruniai anak 2 bertempat tinggal di Desa Kalimukti, anak ke enam adalah putri yang diberi nama Mubarokatul Ghizar dan sudah berkeluarga dan dikaruniai anak 1, anak ke tujuh diberi nama Musta’in dan sudah berkeluarga sekarang bertempat tinggal di Desa Kalimukti, anak yang ke delapan yaitu diberi nama Muhammad Muawan belum berkeluarga, anak yang ke sembilan diberi nama Muqoyim belum berkeluarga dan anak paling bungsu yaitu anak yang ke sepuluh di berinama Muhammad Muakhir yang masih menuntut ‘ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
K. Munawir dimasa mudanya aktif di Organisasi Anshor dan Banser, beliau juga aktif di Partai Politik kemudian setelah berusia 40 tahun beliau beristiqomah untuk mengabdikan diri di Pondok Pesantren An-Nashuha yaitu untuk mengajar kitab salaf pada santri dan masyarakat dan di serahi Oleh Al-Maghfurlah KH. Manshur selaku Pengasuh Pondok Pesantren An-Nashuha setelah wafatnya K. Sufyan untuk di jadikan Imam Rowatib Masjid Pesantren yang kemudian setelah para sesepuh wafat kemudian beliau (K. Munawir memberikan nama Masjid Pesantren dengan Nama Masjid Al-Barokah. Beliau juga ikut mengajar di Madrasah Diniyah Salafiyah yang pada saat itu di kepalai oleh K. Ahyad kemudian setelah wafatnya K. Akhyad sekitar tahun 1978, pengajian rutin diserahkan ke K. Munawir. Setelah penerus yang muda muncul dan mendirikan Yayasan beliaupun ikut berkiprah dan membantu walaupun tidak ada di dalam kepengurusan Yayasan.
Selain beliau berkiprah di Pondok Pesantren beliaupun membantu di masyarakat luas yaitu mengembangkan ilmu khikmah dan ngobati masyarakat yang membutuhkannya. Beliaupun memberikan motifasi kepada masyarakat untuk mengikuti jam’iyah baik kepada kaum pria maupun wanita, contohnya beliau pernah mengundang para ibu untuk mengikuti ijazah Manakib dan Dalail kemudian setelah mereka mengikuti ijazah manakib dan dalail kemudian mendirikan Jam’iyah manakib yang diikuti oleh para ibu sampai sekarang masih berjalan, kemudian beliau juga mengumpulkan para ibu untuk mendirikan Jam’iyah Debaiyah yang diikuti oleh kaum Muslimat dan Jam’iyah tersebut sampai sekarang masih berjalan, beliau juga sering mengadakan Ziyaroh Kubur ke para wali Cirebon bahkan mengadakan Ziyaroh Kubur di makbarohnya KH. Manshur sampai 40 hari dan di akhiri di makbaroh para aulia di daerah Cirebon. Kemudian beliau pada akhir hayatnyapun melaksanakan Ziyaroh Kubur di makbaroh para Aulia Di Daerah Cirebon. Beliau juga menjelang ahir hayatnya mendirikan Asrama Pondok Pesantren An-Nashuha dengan nama Asrama “ Al-Mubarokah” kemudian setelah beliau wafat untuk mengenang beliau kemudian Asrama “Al-Mubarokah” diganti dengan Nama Asrama “Al-Munawir” sampai sekarang.
K. Munawir di keluarga baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya beliau mendidik disiplin dan keras tetapi penuh kasih sayang. Kemudian di ahir hayatnya beliau pesan kepada istri dan anak-anaknya yang paling utama adalah mereka mengatakan jangan tinggal sholat terutama solat lima waktu dan jangan bermusuhan kepada siapapun terutama kepada saudara-saudaranya. Kemudian beliaupun menitipkan bahwa pengajian rutin jangan dihilangkan dan beliau menyerahkan kepada anak dan keponakannya. Beliaupun pada hari sabtu jam 04.15 tepat adzan subuh dikumandangkan, tanggal 10 Jumadil Akhir 1420 H/9 September 2000 wafat. Dan di makamkan di samping makbaroh KH. Manshur.
K. AHMAD FARIDI
1947 – 2006

Sebuah Desa kecil yang menjadi bagian paling timur dari wilayah Kabupaten Cirebon hanya beberapa meter kearah timur adalah Sungai Cisanggarung yang merupakan pembatas antara Jawa Barat – Jawa tengah dan hanya 4 km kearah utara adalah Pondok Pesantren An-Nashuha, Desa itu bernama “Babakanlosari” disitulah Kyai Faridi dilahirkan pada tanggal 31 Oktober 1947.
Di Desa Babakan Losarilah Kyai Faridi yang memiliki nama lengkap Ahmad Faridi itu lahir dan dibesarkan. Ayahnya bernama K. Abd. Muid bin Warlam sedang ibunya bernama Ny. Tasi’ah binti Kyai Haji Abd. Mannan. Ahmad Faridi adalah putra sulung dari tujuh bersaudara.
Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar di Babakanlosari, Orang tuanya Tasi’ah menitipkan Ahmad Faridi pada kakaknya KH. Manshur di Pondok Pesantren An-Nashuha dengan harapan bisa menimba ilmu banyak dari beliau, hal ini karena Tasi’ah selalu mendambakan Ahmad Faridi kelak menjadi kyai seperti Manshur adiknya, pada saat itu Ahmad Faridi baru berusia 12 tahun.
Setelah 3 tahun berada di Pondok Pesantren An-Nashuha KH. Manshur menyarankan agar Ahmad Faridi melanjutkan pendidikan pesantrenya di Pondok Buntet Pesantren, maka pada tahun 1962 Ahmad Faridi berangkat ke Pondok Buntet Pesantren, di Pondok Buntet Ahmad Faridi tinggal di Asrama Kyai Zen bin Abd. Mun’im disinilah Ahmad Faridi mulai menemukan jati dirinya, semangatnya yang menggebu untuk terus mengaji membuat Ahmad Faridi semakin tertarik untuk menimba ilmu agama di tempat yang lebih jauh lagi, sehingga setelah empat tahun di Buntet Ahmad Faridi meminta restu pada orang tuanya dan Guru sekaligus pa de’nya KH. Manshur untuk pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, beliau memilih Pondok Pesantren Lirboyo karena cita-citanya yang ingin membesarkan Pondok Pesantren An-Nashuha paling tidak seperti Pondok Lirboyo yang pada saat itu sedang diminati banyak orang.
Pada tahun 1965 Ahmad Faridi-pun berangkat ke Lirboyo diantar oleh Kyai Ahyad beserta keluarganya. Setelah mengikuti tes Masuk alhamdulillah Ahmad Faridi diterima masuk kelas I Tsanawiyah yang pada saat itu Lirboyo baru beberapa tahun mendirikan tingkatan Tsanawiyah.
Satu tahun setelah tamat Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren Lirboyo, KH. Manshur memintanya agar beliau pulang (boyong) karena akan dipersunting dengan putri ketiganya yang bernama Siti Muridah. Namun sebelum menikah Ahmad Faridi sempat mendalami kembali ilmu agama di pondok Pesantren An-Nashuha sambil ikut membantu ngajar di Madrasah Diniyah yang pada waktu itu selaku kepala Madrasahnya adalah Kyai Ahyad. Hal itu berjalan selama 1 tahun. Maka pada tahun 1971 Ahmad Faridi menikah dengan Siti Muridah putri ke tiga dari KH Manshur. Nasab Ahmad Faridi dengan Muridah adalah bertemu pada kakeknya yaitu KH Abd. Mannan.
Beliau dikaruniai anak pertamanya lahir pada tahun 1973 yang diberi nama Dzurri akan tetapi meninggal saat berusia 2 bulan, lalu putra keduanya lahir pada tanggal 12 April 1975 dengan diberi nama Saefullah Faried, sekarang sudah berkeluarga dan berdomisili di Desa Sidaresmi Kecamatan Pabedilan (dulu ikut Kecamatan Ciledug), anak ketiganya perempuan bernama Neneng Hulliyah yang lahir pada tahun 1978 sudah berkeluarga dan tinggal di Pondok Pesantren An-Nashuha Kalimukti, anak ke empat laki-laki bernama Ahmad Mubarok lahir pada tahun 1981 sudah menikah dan sekarang bermukim di Desa Dukuhwidara, anak ke lima laki-laki bernama Anis Furqon lahir pada tahun 1983 sudah menikah sekarang berdomisili di kota Jakarta, anak terakhir laki-laki lahir pada tahun 1985 dengan diberi nama Abu Dzarrin Al-Giffari juga sudah menikah dan bertempat tinggal di Desa Rungkang Losari Brebes.
Semenjak Beliau pulang dari Pondok Pesantren Lirboyo hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk mengabdi pada Agama berjuang lii’lai kalimtillah. Disamping mengajar di Madrasah Diniyah An-Nashuha juga sebagai dewan pengajar di Madrasah Tsanawiyah Formal dengan Mata Pelajaran Mulok yaitu Nahwu Shorof. Beliau juga sampai akhir hayatnya tidak pernah mengenal lelah melakukan pembinaan pada ibu-ibu lewat pengajian rutin yang diselenggarakan di Majlis-majlis ta,lim, diantaranya pengajian rutin Hari rabu di Majlis Ta’lim Al-hikmah yang didirikanya sejak tahun 1980, hari ahad di Masjid jami babkan losari kidul, hari selasa di Masji Sidaresmi, hari Kamis di Musholla Babakan Losari Kidul dan masjid Babakan Cirawada.
Beliau disamping menekuni Toriqoh Tijaany juga aktif di organisasi NU dan jabatan yang pernah diembanya adalah masuk pada jajaran Suriyah MWC NU Kecamatan Ciledug pada tahun 1986 hingga tahun 1996, lalu memjadi Roisy Am Nahdlatul Ulama Ranting Desa Kalimukti pada tahun 1995 hingga wafat yaitu tahun 2006.
Beliau wafat pada usia 69 tahun, meninggalkan satu orang anak perempuan dan empat orang laki-laki, beliau wafat bertepatan pada tanggal 7 Romadlon karena penyakit yang telah lama dideritanya. Dan Satu tahun setelah wafatnya beliau pada bulan yang sama istrinya-Siti Muridah-dipanggil oleh Allah SWT “inna lillahi wainna ilaihi roji’un”.
Semoga amal bakti beliau berdua mendapatkan tempat yang layak dan diterima disisi Allah SWT, dan jasa-jasanya akan selalu dikenang oleh seluruh santri dan alumni Pondok Pesantren An-Nashuha. Amin